Kamis, 29 Oktober 2009

Hakikat Wayang dan Dalang

Bismillah. Alhamdulillah. Dengan Nama Allah, Segala Puji Bagi Allah, Alam-alam ini semua adalah Nama Allah. Dan seluruh hal dalam ribuan dunia dan akhirat ini senantiasa memuji Allah.

Dalang

Alkisah, Pak Dalang datang ke kenduri memainkan wayang Petruk, wayang Semar dan wayang Bagong, wayang kulit-wayang kulit. Mati tapi hidup. Kulit-kulit berukir yang memiliki karakter. Pak Dalang memberi kehidupan pada wayang Petruk, Pak Dalang memberik karakter pada Petruk, Kalau Semar lagi mendem, yang mendem adalah Pak Dalang, Kalau Semar lagi prihatin, Pak Dalang lagi prihatin, Kalau dunia perwayangan lagi wingit, yang wingit yaa Pak Dalang.

Wayang itu artinya bayangan, bahasa arab-nya al-ziil. Yang ditonton bayangannya bukan kulitnya. Bayangan Yudistira, raja kaum haq, bergerak-gerak dan berceramah. Aku itu punya jimat. Jimat Pandawa yang tak terkalahkan. Jimat kalimusada (kalimat syahadat). Pandawa manifestasi utama pesan Dalang tenang. Karena jimat ini konon tak terkalahkan. Dan karena Pandawa sudah ma’rifat, kalau jimat yang konon tak terkalahkan itu sebenarnya bukan konon tak terkalahkan. Tapi pandawa sampun makrifat kalau jimat ini mesti (niscaya) tak terkalahkan. Pandawa sudah tapabrata mengenai ke-bayangannya (kewayangannya) selama diasingkan di hutan. Sehingga Bima lebih sreg nyedot karakter-karakter keperkasaan Dalang (al-qowiyyu) maupun kegagahannya (al-qohhaaru). Arjuna lebih sreg diberi karakter-karakter kinasih (ar-ro’uf), kecantikan (al-jamiil), kekesatriaan (futuhaaf) dan batin-batin Sirr kosmis. Yudistira lambang kearifan puncak. Manusia yang telah tercerahkan dan mengetahui hakikat-hakikat, tapi juga turut serta dengan aktif memimpin negara, menyerap asma al-‘aruffu, al-hakimu, al-‘azizu, al-khobiiru dan asma apa sak srege pak Dalang, Nakula, Sadewa disimpan khusus pak Dalang keutamannya sebagai lambang-lambang yang tidak mudah dipahami manfaat jelasnya dalam dunia “nyata” perwayangan.

Wayang-wayang yang belum dipegang Pak Dalang tergeletak. Tersimpan rapi. Dan wayang tersebut tidak bisa muncul dan tidak pernah akan muncul di layar tancap. Wayang-wayang gletakan (tergeletak) seperti bakat-bakat yang berpotensi (a’yaanuts-tsabiita) yang belum diberik keberadaan. Petruk, yoo bakate dadi. Nek moro-moro dadi. Bimo yoo ora iso. Namung Petruk bisa berbuat baik dan bisa berbuat salah dalam ke-Petrukannya. Dan Petruk tidak pernah diknal di dunia perwayangan sekiranya Pak Dalang tidak mengangkatnya dan memainkannya. Petruk tidak ada dan tidak pernah ada dalam dunia wayang jika tidak diangkat Padak Dalang dan dimasukkannya ke dalam pentas. Tapi sopo sih sing sak jane pentas? (Siapa yang sebenarnya pentas?) Bukan Petruk kan? Tapi Pak Dalang. Sopo sih sing sak jane urip? (Siapa yang sebenarnya hidup?) Yoo pak Dalang. Petruk tidak hidup di dunia wayang dan sekaligus hidup dunia wayang. Petruk itu pak Dalang tapi bukan pak Dalang. Karena pak Dalang bisa jadi Semar dan bukan Petruk. Karena juga petruk yang ada di layar itu sebenarnya pak Dalang yang bicara, pak Dalang yang bergerak dan hanya pak Dalang yang hidup. Jadi Petruk itu pak Dalang sekaligus bukan pak Dalang.

Sifat Semar itu sifat pak Dalang. Wayang kulit Semar. Wayangnya mati. Tidak mempunyai kehidupan. Apalagi mempunyai sifat. Kan sifat hanya dipunyai oleh sesuatu yang hidup. Padahal wayang kulit Semar mati, yang hidup hanya bayangannya di layar. Yang hidup sebenarnya Pak Dalang. Jadi sifatnya Semar sebenarnya sifat Pak Dalang. Dan juga laku (af’al) Semar itu juga laku pak Dalang. Tapi sekaligus sifat dan laku Semar bukan sifat dan laku pak Dalang. Kenapa? Karena pak Dalang itu juga Petruk, pak Dalang itu juga Bagong. Sifat pak Dalang itu juga sifat Petruk dan sifat pak Dalang dan lakunya itu juga sifa dan lakunnya Bagong.

Pak Dalang memang berjiwa besar. Terlalu besar untuk ditampung satu wayang. Maka ada banyak wayang. Wayang-wayang hidup sebagai bayangan di layar. Hanya bayangan. Dunia perwayangan itu imajinasi/takhayyul. Yang sebenarnya ditonton hanya Pak Dalang. Yang hidup sebenarnya hanya pak Dalang. Tapi Pak Dalang berjiwa besar dan sempurna (kamal). Jadi Pak Dalang membuat dunia perwayangan sebagai bayangan dari dirinya sendiri. Di balik layar, Wayang-Wayang tampak hidup. Wayang–wayang tampak bergerak. Wayang-wayang berbicara. Wayang-wayang berkomunikasi. Wayang-wayang ada yang jahat, ada yang baik, wayang-wayang ada yang diganjari surga dan neraka. Tapi wayang-wayang semuanya bayangan. Bayangan pak Dalang. Sesudah semuanya mati Pak Dalang nggrememeng, “Apik tenan wayang iki, opo maneh si Yudistiro”.

Ya itu hakikat sholawat, Tuhan memuji dirinya sendiri lewat bayangannya (Muhammad) di layar imajinasi. Yang dipuji sebenarnya yaa Tuhan yaa Muhammad. Karena Seluruh alasan penciptaan adalah Muhammad. Sifat-sifat Muhammad. Laku-laku Muhamamd. Nama-nama Muhammad. Orang-orang yang disekeliling Muhammad diciptakan untuk mengejawantahkan percikan-percikan sifat, nama dan laku Muhammad yang terlalu besar untuk dikandung dalam diri seorang baysar. Karena itu dibuat selain Muhammad. Yaitu ‘Ali. Setelah itu Fathimah. Setelah itu turunan-turunan suci Muhammad. Setelah itu para Nabi, para malaikat al-muqorrobiin dan para wali. Setelah itu yang lain. Setelah itu para Malaikat. Karena Ya itu hakikat penciptaan tajalliyat perwayangan. Takhayyul. Dunia nyata ini takhayyul. Khayalan. Ngimpi. Sebagaimana dikatakan oleh Yang Mulia Rasulullah SAWW, “Manusia itu tidur, ketika mati ia terbangun.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar